- Original
- Indonesia
- English
Malam-Malam yang Lain
Senin, Januari 03, 2022Di atas rumput-rumput yang lembut, aku denganmu berbaring berdua menatap cahaya purnama yang tampil dengan sangat sempurna. Mengabaikan awan-awan nakal yang sesekali menumpang lewat dan menutupi cahayanya. Jauh dari sinarnya, gemerlap bintang berkelap-kelip membantunya menghiasi langit malam yang begitu memesona. Lebih tepatnya juga ikut serta untuk membuat malamku dan malammu menjadi malam yang sempurna. Walaupun pada kenyataannya, malam itu adalah malam perpisahan kita.
“Fahri, andai bulan itu bisa aku ambil, jika tidak minimal cahayanya, aku mau memberikan itu kepadamu. Tapi jika itu terlalu mustahil, aku mau ambil salah satu dari ribuan butir bintang itu,” katamu.
“Naya, kau tahu? Bintang itu ukurannya lebih besar daripada bulan. Jika kamu mustahil menggapai bulan, maka kamu akan lebih mustahil lagi untuk mendapatkan bintang,” kataku.
“Iya itu dalam segi ilmiahnya. Tapi kalau dari dalam segi keindahan, bintang-bintang itu hanya lah butiran-butiran partikel indah kecil bercahaya yang tugasnya untuk menghiasi langit malam yang gelap gulita menjadi malam yang seperti firdaus.”
“Firdaus?”
“Surga firdaus, surga paling atas dan yang paling indah,” katamu dengan ekspresi tersenyum bangga.
Tak ada yang bisa aku lupakan dari malam itu. Mendengar ocehan manismu membahas segala hal yang berhubungan dengan keindahan. Kau suka keindahan, kau selalu berusaha membuat agar seluruh hari-harimu sesuai dengan hukum estetika. Kau terobsesi untuk melakukan sesuatu yang indah. Bahkan dalam memilih kata-kata pun kau menggunakan diksi-diksi dan sentuhan majas agar indah di dengarnya. Kau selalu memuji segala hal yang menurutmu indah. Hal itu membuatku terkadang merasa bangga pada diri sendiri. Kamu suka keindahan. Jadi aku adalah orang yang paling indah di dunia ini hingga kamu memilihku untuk menjadi pasanganmu.
Meskipun malam itu kamu berkata malam itu sangat indah. Tapi aku tahu bahwa kamu sedang bersedih. Kamu terlalu cerdik menutup kerapuhan hatimu dengan ekspresi wajahmu yang berseri-seri dan membuat kamuflase dari malam yang menyesakkan menjadi malam yang katamu seperti di surga firdaus.
“Memang kamu pernah pergi ke sana?” aku bertanya.
“Belum, tapi ya, bumi yang kita tinggali saat ini sudah seindah ini. Lalu bagaimana dengan surga, yang dideskripsikan sangat begitu indah di dalam Al-Quran. Jadi tak ada salahnya aku memberikan sentuhan majas asosiasi antara malam ini dengan surga.”
“Tapi ini kan malam perpisahan kita, Nay. Mana mungkin ini malam yang indah?” kataku dengan suara pelan.
“Fahri, yang berpisah itu hanya tubuh kita. Itu pun masih ada batas waktunya, bukan selamanya. Sebenarnya bukan hanya malam ini yang menurutku indah, tapi malam-malam lainnya, malam dimana aku masih mencintamu dan kamu masih mencintaiku,” ujarmu dengan suara lembutmu.
Kesiur angin malam berembus melewati tubuh kita. Menciptakan suara deru yang lembut membuatku ingin berlama-lama berada di sampingmu. Ah. Malam itu aku serasa ingin berteriak pada semesta meminta agar malam itu abadi tanpa hari esok yang mana aku harus meninggalkanmu. Atau jika bisa aku akan membungkus malam ini dalam sebuah plastik dan aku akan selalu bawa plastik itu kemanapun aku pergi. Dalam artian kamu selalu disisiku bagaimanapun kondisinya. Mungkin terdengar sedikit gila. Tapi siapa peduli? Aku hanya mau melalukan apa yang membuatku bahagia.
“Ini.” Kamu memberiku sebuah boneka beruang kecil yang bagian dadanya terdapat jahitan yang membentuk nama kita berdua.
“Ini apa, Nay?”
“Namanya Kimo. Kamu bawa ke sana, ya.” Kemudian aku melihat air matamu mengalir perlahan-lahan.
“Loh, kenapa nangis, Nay?”
“Tidak apa-apa.”
Jujur, air matamu membuatku semakin berat untuk pergi. Membiarkanmu sendiri dalam keadaan bersedih. Aku kira kau akan setegar seperti apa yang kau ucapkan sebelumnya tapi nyatanya tidak.



Nay, kamu apa kabar? Sudah dua tahun sejak malam Firdaus itu, aku denganmu tak lagi berdua. Kau di Indonesia dan aku di Belanda. Kalau boleh cerita sedikit, saat aku awal-awal sampai di sini aku sangat tidak kerasan. Aku selalu ingin pulang dan bertemu denganmu. Persetan dengan seluruh gemerlap kota Amsterdam jika tidak ada kamu. Rasanya hambar. Aku ingin lari.
Apa kabar purnama di sana? Masihkah seindah malam Firdaus itu. Semuanya terasa asing di sini. Bahkan pada purnama pun aku merasa melihat purnama yang baru. Berbeda dengan purnama yang pernah kita lihat berdua dulu.
Kau tahu? Kimo, boneka panda pemberianmu. Dia yang selalu menemaniku di sini. Apalagi dikala aku merasa kesepian. Berbaring dengannya di atas rooftop, menikmati malam dan bintang. Mungkin ini terdengar agak sedikit sinting aku bergaul dengan boneka. Tapi apa peduli.
Tapi semua itu berubah, saat aku bertemu dengan seorang wanita bernama Helene. Dia berhasil mengganti kesepianku di sini. Dia berhasil membuat malamku sama sempurnanya dengan malamku saat bersamamu dulu. Tapi tak hanya itu. Dia juga berhasil mengisi hatiku yang sebelumnya hanya berisi tentang rinduku kepadamu. Dia membuatku merasa jatuh cinta kembali. Aku jatuh cinta pada wanita Belanda, Nay.
Pada saat itu aku bingung. Hatiku diisi oleh dua orang sekaligus. Aku bingung mau terus lanjut denganmu atau memulai hubungan yang baru dengan Helene. Lama kuberpikir. Dan pada akhirnya, aku memilih untuk selesai denganmu. Aku tahu mungkin ini sangat menyakitkan. Tapi mau bagaimana. Aku sudah sangat jatuh cinta sama Helene. Aku yakin kamu bisa terima dan kamu juga pasti mendapat penggantiku secepatnya.
Setelah aku denganmu selesai. Aku masih bisa merasakan rasa yang sama seperti yang pernah aku denganmu lakukan dulu. Berjalan berdua, bermain di taman, berbaring dibawah bintang dan lainnya. Aku merasa hidup kembali.
“Bedankt Voor Het Opvullen Van Mijn Eenzaamheid, Helene” kataku pada Helene, yang artinya: Terima kasih telah mengisi kesepianku, Helene.
Kita isi waktu kita untuk bersama. Ke manapun pergi pasti selalu berdua. Aku tahu sedikit-sedikit bahasa Belanda dari dia. Aku juga mengajarinya sedikit-sedikit bahasa Indonesia. Dia sangat suka Indomie. Pernah suatu ketika aku memasakkannya satu bungkus Indomie goreng.
“Wow, ini enak banget” kata Helene yang cara pengucapannya terdengar sangat lucu di telingaku.
Terkadang kita juga berdiskusi mengenai Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Terkadang kita juga berdiskusi mengenai bentuk bumi. Dia percaya bahwa bentuk bumi adalah datar, sementara aku percaya bahwa bentuk bumi itu adalah segitiga.
Tapi kebersamaan kita tak bertahan lama. Pernah di suatu malam dia tiba-tiba meneleponku. Waktu itu sedang turun salju sangat lebat dan sangat dingin. Bahkan aku dapat melihat jalanan lebih sepi dari biasanya.
"Het spijt me. Onze relatie moet beëindigen. Mijn ouders hebben mij verboden een relatie met jou te hebben. Ik ben verloofd." Kemudian dia mematikan telepon itu tiba-tiba. Dia bilang kalau aku dengannya harus berhenti berhubungan. Orang tuanya tidak merestui hubungan kita. Dia juga bilang kalau dia sudah bertunangan.
Malam itu hatiku sangat hancur. Hubunganku dengannya hanya bertahan selama satu tahun. Memang sedari awal aku sudah melihat ada rasa tidak suka dari orang tua Helene pada hubungan ini. Aku bukannya berpikiran negatif, tapi aku merasa sikap mereka berbeda dari bagaimana orang tuamu kepadaku dulu.
Kini, aku sendiri lagi. Berteman kembali dengan sunyi dan sepi. Bulan telah ditutup oleh mendung yang tebal. Bersama hujan dan juga gemuruh petir yang bersahut-sahutan saling menyambar. Aku hancur. Hatiku rapuh. Aku malu samakamu dan pada diriku sendiri. Aku menyesal telah menghianati cintamu. Maafkan aku, Nay. Aku tak pandai untuk setia.
Kimo tampak mulai berdebu di atas nakas. Sudah lama sejak aku berhubungan dengan Helene aku tak lagi menyentuhnya. Maafkan aku, Nay. Aku tak menjaganya. Tapi aku janji setelah ini Kimo akan selalu aku jaga. Dia kenang-kenangan terakhir dari kamu. Aku harap aku bisa merasakan pelukanmu kembali ketika aku memeluknya. Nama kita akan abadi di dada Kimo. Fahri & Naya, selamanya.
Lenteng, 2 Januari 2022